Tuesday 5 February 2013

daftar pustaka



DAFTAR PUSTAKA
Badudu, J.S dan Zain, S.M. 1997. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Brodsky, L & Poje, C (2001). Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. dalam : Bailey, BJ.  Head & Neck Surgery Otolaryngology, Vol 1, third ed. Lippincott Milliams & Wilkins.
Pracy, R. et al (1974). Pelajaran Ringkas THT, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sudana, W., Indikasi Tonsiloadenoidektomi, Lab/UPF THT FK UNUD RSUP, Denpasar.
Karmaya, N.M.; Sana, I.G.N.P. & Sukardi, E. (1979), Tonsilla Palatina, Anatomi, Pertumbuhan dan Perkembangannya, dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla Palatina dan Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar
Adams, G.L. (1997), Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring,dalam Harjanto, E. dkk (ed) Boies Buku Ajar Penyakit THT, edisi ke6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Rusmarjono & Soepardi, E.A. (2001), Penyakit Serta Kelainan Faring dan Tonsil, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta.
Wirawan, S. & Puthra, I.G.A.G. (1979), Arti Fungsionil dari Elemen-elemen Histologis Tonsil, dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla Palatina dan Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar..
Rusmarjono & Kartosoediro, S. (2001), Odinofagi, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta
Snell, R.S. (1991). Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3, edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Anonim (2003). The Oral Cavity, Pharynx & Esophagus dalam Lee, K.J. (eds) Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, McGraw Hill Medical Publishing Division, USA.
Anonim (2002). Kamus Besar Dorland. Penerbit EGC, Jakarta
Masna, P.W., Tonsilitis, Tonsilektomi dan Adenoidektomi, Lab/UPF THT FK UNUD RSUP, Denpasar
Oka, I.B. (1979), Tonsillitis, dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla Palatina dan Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar.
Masna, P.W. (1992). Tonsilitis Kronis, dalam Pedoman Diagnosa dan terapi Ilmu Penyakit THT RSUP Denpasar, Lab/UPF THT FK UNUD RSUP, Denpasar.
Mansjoer, A. dkk (2001). Kapita Selekta Kedokteran, edisi ke3, Jilid pertama, penerbit Media Aesculapius, FKUI, Jakarta.
Suardana, W. (1979), Komplikasi Peradangan Menahun Tonsil, dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla Palatina dan Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar.
Masna, P.W. (1979), Tonsillectomy & Adenoidectomy, dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla Palatina dan Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar.
Tim FK UI. ( 2001), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorakan Kepala Leher, edisi kelima, Penerbit FK UI, Jakarta.

BAB I
PENDAHULUAN

Masalah kesehatan bidang Otorhinolaringology atau ilmu kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorokan (THT) pada tonsil dan adenoid merupakan penyakit yang umumnya paling sering ditemukan pada masyarakat. Menurut Prof. Suardana (2006) bahwa sekitar 40% hingga 60% orang yang berobat kerujukan pertama kesehatan diIndonesia atau Puskesmas adalah penderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA). Keluhan seperti nyeri tenggorokan, batuk dan pilek sebagai gejala tanda infeksi saluran pernapasan bagian atas yang sering disertai dengan masalah pada telinga adalah jumlah terbesar dari pasien yang datang berkunjung ke pelayanan kesehatan, terutama anak-anak.
Infeksi saluran pernafasan atas pada anak-anak merupakan hal yang paling sering dijumpai oleh dokter praktek umum maupun keluarga. Keluhan-keluhan infeksi saluran pernafasan atas, sakit tenggorok dan penyakit-penyakit telinga dapat disebabkan oleh karena gangguan pada tonsil dan adenoid. Cincin Waldeyer yang tersusun dari jaringan limfoid berperan sebagai daya pertahanan lokal dan surveilen imun. Seperti halnya jaringan limfoid lain, jaringan limfoid pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi pada masa kanak-kanak. Pada umur 5 tahun, anak mulai sekolah dan menjadi lebih terbuka kesempatan untuk mendapat infeksi dari anak yang lain.
Lokasi tonsil pada saluran pernafasan dan pencernaan menyebabkan tidak jarang terkena infeksi hingga memungkinkan menjadi sarang (fokal) infeksi, serta bisa juga membesar dan mengganggu proses menelan atau pernafasan, sehingga tonsilitis kronis tanpa diragukan merupakan penyakit yang paling sering dari semua penyakit tenggorokan yang berulang.
Radang kronis yang terjadi pada tonsil ini dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi baik komplikasi ke daerah sekitar ataupun komplikasi jauh. Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis dengan indikasi dan prognosis yang buruk adalah pembedahan pengangkatan tonsil (Tonsilektomi).
 


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tonsil (Tonsilla Palatina)
Tonsil merupakan suatu akumulasi dari limfonoduli permanen yang letaknya di bawah epitel yang telah terorganisir sebagai suatu organ. Pada tonsil terdapat epitel permukaan yang ditunjang oleh jaringan ikat retikuler dan kapsel jaringan ikat serta kriptus di dalamnya.
Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi menjadi sebagai berikut :
  1. Tonsilla lingualis, terletak pada radix linguae.
  2. Tonsilla palatina (tonsil), terletak pada isthmus faucium antara arcus glossopalatinus dan arcus glossopharingicus.
  3. Tonsilla pharingica (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari nasofaring.
  4. Tonsilla tubaria, terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium tuba auditiva.
  5. Plaques dari Peyer (tonsil perut), terletak pada ileum.
Dari kelima macam tonsil tersebut, tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla pharingica dan tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.
Jaringan limfoid pada Cincin Waldeyer berperan penting pada awal kehidupan, yaitu sebagai daya pertahanan lokal yang setiap saat berhubungan dengan agen dari luar (makan, minum, bernafas), dan sebagai surveilens imun. Fungsi ini didukung secara anatomis dimana di daerah faring terjadi tikungan jalannya material yang melewatinya disamping itu bentuknya tidak datar, sehingga terjadi turbulensi khususnya udara pernafasan. Dengan demikian kesempatan kontak berbagai agen yang ikut dalam proses fisiologis tersebut pada permukaan penyusun cincin Waldeyer itu semakin besar.

Palatum molle
Uvula
Arkus Anterior
Arkus Posterior
Tonsil   

                                                   
Gambar 1. Penampang Kavum Oris

2.1.1 Embriologi Tonsilla Palatina
Tonsila Palatina berasal dari proliferasi sel-sel epitel yang melapisi kantong faringeal kedua. Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserap dan bagian dorsalnya tetap ada dan menjadi epitel tonsilla palatina. Pilar tonsil berasal dari arcus branchial kedua dan ketiga. Kripte tonsillar pertama terbentuk pada usia kehamilan 12 minggu dan kapsul terbentuk pada usia kehamilan 20 minggu. Pada sekitar bulan ketiga, tonsil secara gradual akan diinfiltrasi oleh sel-sel limfatik.

2.1.2 Anatomi Tonsilla Palatina
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20 kripte. Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut “Capsula” tonsilla palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.
Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :
1.      Anterior : arcus palatoglossus
2.      Posterior : arcus palatopharyngeus
3.      Superior : palatum mole
4.      Inferior : 1/3 posterior lidah
5.      Medial : ruang orofaring
6.      Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior oleh jaringan areolar longgar. A. carotis interna terletan 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsilla.
1. Serabut Otot               2. Epitel Permukaan    3. Kripte
4. Limfonoduli


Gambar 2. Anatomi Tonsil(10)

Permukaan tonsila palatina yang dilapisi mukosa terdiri dari epitel berlapis pipih yang mempunyai daya tahan yang lebih baik daripada jenis epitel yang lain dimana mukosa tonsila palatina ini selalu mendapat gesekan dalam tubuh sehingga memerlukan perlindungan yang lebih baik agar lebih tahan terhadap trauma.
Kripte pada tonsila palatina dalam dan bercabang-cabang dan terdapat kripte dalam jumlah yang banyak. Pada kripte ini bermuara kelenjar-kelenjar submukosa yang terdapat di sekitar tonsil. Namun pada tonsila palatina ini kelenjar-kelenjar tidak bermuara pada dasar kripte sehingga dasar kripte tidak selalu tercuci. Adanya banyak percabangan dari kripte dan adanya muara kelenjar yang tidak pada dasar kripte memberi kesempatan untuk mendapat infeksi yang lebih besar.




Gambar 3. Histologi Tonsil

2.1.3 Vaskularisasi
Arteri terutama masuk melalui polus caudalis, tapi juga bisa melalui polus cranialis. Melalui polus caudalis : rr. tonsillaris a. dorsalis linguae, a. palatina ascendens dan a. facialis. Melalui polus cranialis : rr. tonsillaris a. pharyngica ascendens dan a. palatina minor. Semua cabang-cabang tersebut merupakan cabang dari a. carotis eksterna.
Darah venous dari tonsil terutama dibawa oleh r. tonsillaris v. lingualis dan di sekitar kapsula tonsillaris membentuk pleksus venosus yang mempunyai hubungan dengan pleksus pharyngealis. Vena paratonsillaris dari palatum mole menuju ke bawah lewat pada bagian atas tonsillar bed untuk menuangkan isinya ke dalam pleksus pharyngealis.
Cairan limfe dituangkan ke lnn. submaxillaris, lnn. cervicalis superficialis dan sebagian besar ke lnn. cervicalis profundus superior terutama pada limfonodi yang terdapat di dorsal angulus mandibular (lnn. tonsillaris). Nodus paling penting pada kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae.








Gambar 4. Vaskularisasi Tonsil

2.1.4 Innervasi
Innervasi terutama dilayani oleh n. IX (glossopharyngeus) dan juga oleh n. palatina minor (cabang ganglion sphenopalatina). Pemotongan pada n. IX menyebabkan anestesia pada semua bagian tonsil (Dandy).
2.1.5 Imunologi
Tonsil merupakan organ yang unik karena keterlibatannya dalam pembentukan imunitas lokal dan sebagai pertahanan imunitas tubuh manusia. Sel limfosit B berproliferasi di “Germinal Center”. Imunoglobulin (Ig G, A, M, D), komponen komplemen, interferon, lisosim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsillar. Infeksi bakterial kronis pada tonsil akan menyebabkan terjadinya antibodi lokal, perubahan rasio sel B dan sel T.
Antigen akan masuk melalui Tubulo vesicular sistem dalam sel M, kemudian antigen tersebut ditangkap oleh sel APC (antigen presenting cells), makrofag dan sel dendrit. Bersamaan dengan ini makrofag melepaskan mediator berupa limfokin, interleukin-1 (IL-l) untuk mengaktifkan sel T. Kemudian sel T melepaskan interleukin-2  (IL-2) yang akan merangsang limfosit B berdifrensiasi menjadi sel plasma. Sel plasma pada awalnya akan membentuk imunoglobulin M kemudian diikuti pembentukan imunoglobulin A dan IgG. Sebagian dari limfosit B menjadi sel memori dan Imunoglobulin A secara pasif akan berdifusi ke lumen.
Skema 1. Reaksi Imun Tonsil



Efek dari penatalaksanaan Adenotonsilektomi terhadap integritas imunitas seseorang hingga kini masih diperdebatkan. Pernah dilaporkan adanya penurunan produksi Imunoglobulin A (IgA) nasofaring terhadap vaksin polio setelah adenoidektomi atau adanya peningkatan kasus Hodgkin’s Limfoma pasca Adenotonsilektomi. Namun, peran tonsil sendiri masih tetap kontroversial dan sekarang ini masih belum terbukti adanya efek imunologis dari tonsilektomi.

2.2 Tonsilitis Kronis
2.2.1 Definisi
Tonsilitis merupakan keradangan kronis yang mengenai seluruh jaringan tonsil yang umumnya didahului oleh suatu keradangan di bagian tubuh lain, misalnya sinusitis, rhinitis, infeksi umum seperti morbili, dan sebagainya. Sedangkan Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis.
Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.


2.2.2 Etiologi
Etiologi berdasarkan Morrison yang mengutip hasil penyelidikan dari Commission on Acute Respiration Disease bekerja sama dengan Surgeon General of the Army America dimana dari 169 kasus didapatkan data sebagai berikut :
\     25% disebabkan oleh Streptokokus β hemolitikus yang pada masa penyembuhan tampak adanya kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum penderita.
\     25% disebabkan oleh Streptokokus golongan lain yang tidak menunjukkan kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum penderita.
\     Sisanya adalah Pneumokokus, Stafilokokus, Hemofilus influenza.
Adapula yang menyatakan etiologi terjadinya tonsilitis sebagai berikut :
1.      Streptokokus β hemolitikus Grup A
2.      Hemofilus influenza
3.      Streptokokus pneumonia
4.      Stafilokokus (dengan dehidrasi, antibiotika)
5.      Tuberkulosis (pada keadaan immunocompromise).
2.2.3 Faktor Predisposisi
Adapun beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu :
1.      Rangsangan kronis (rokok, makanan)
2.      Higiene mulut yang buruk
3.      Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)
4.      Alergi (iritasi kronis dari alergen)
5.      Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)
6.      Pengobatan Tonsilitis Akut yang tidak adekuat.

2.2.4 Patologi
Proses keradangan dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil. Karena proses radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripte akan melebar.
Secara klinis kripte ini akan tampak diisi oleh Detritus (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat berwarna kekuning-kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsillaris. Pada anak-anak, proses ini akan disertai dengan pembesaran kelenjar submandibula.

2.2.5 Manifestasi Klinis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang berulang­ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa kering dan pernafasan berbau..
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang mungkin tampak, yakni :
1.      Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti keju.
2.      Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :
T0         : Tonsil masuk di dalam fossa
T1         : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2         : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3         : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4         : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring







Gambar 5. Gradasi Pembesaran Tonsil

2.2.6 Diagnosis
Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut :
1.      Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50% diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.
2.      Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat banyak terlihat pada kripta. Gambaran klinis yang lain yang sering adalah dari tonsil yang kecil, biasanya membuat lekukan dan seringkali dianggap sebagai “kuburan” dimana tepinya hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen yang tipis terlihat pada kripta.
3.      Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus, Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus.
2.2.7 Diagnosa Banding
Terdapat beberapa diagnosa banding dari tonsilitis kronis adalah sebagai berikut :
1.       Penyakit-penyakit dengan pembentukan Pseudomembran atau adanya membran semu yang menutupi tonsil (Tonsilitis Membranosa)
a.       Tonsilitis Difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi menjadi tiga golongan besar, umum, lokal dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot pernafasan  dan pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.
b.      Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)
Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39˚C), nyeri di mulut, gigi dan kepala, sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi. Pada pemeriksaan tampak membran putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring, gusi dan prosesus alveolaris. Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut yang berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.
c.       Mononukleosis Infeksiosa
Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran semu yang menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan regio inguinal. Gambaran darah khas, yaitu terdapat leukosit mononukleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (Reaksi Paul Bunnel).
2.       Penyakit Kronik Faring Granulomatus
a.       Faringitis Tuberkulosa
Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien adalah buruk karena anoreksi dan odinofagi. Pasien juga mengeluh nyeri hebat di tenggorok, nyeri di telinga (otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher.
b.      Faringitis Luetika
Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder atau tersier. Pada penyakit ini dapat terjadi ulserasi superfisial yang sembuh disertai pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma bisa mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil.
c.       Lepra (Lues)
Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring kemudian menyembuh dan disertai dengan kehilangan jaringan yang luas dan timbulnya jaringan ikat.
d.      Aktinomikosis Faring
Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri, bisa mengalami ulseasi dan proses supuratif. Blastomikosis dapat mengakibatkan ulserasi faring yang ireguler, superfisial, dengan dasar jaringan granulasi yang lunak.
Penyakit-penyakit diatas umumnya memiliki keluhan berhubungan dengan nyeri tenggorokan (odinofagi) dan kesulitan menelan (disfagi). Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringan atau kultur, foto X-ray dan biopsi jaringan.
2.2.8 Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut :
1.      Komplikasi sekitar tonsil
a.       Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan abses.
b.      Abses Peritonsilar (Quinsy)
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.
c.       Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.
d.      Abses Retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
e.       Krista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.
f.        Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan tonsilyang  membentuk bahan keras seperti kapur.
2.      Komplikasi Organ jauh
a.       Demam rematik dan penyakit jantung rematik
b.      Glomerulonefritis
c.       Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
d.      Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
e.       Artritis dan fibrositis.
2.2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan tonsil (Adenotonsilektomi). Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau terapi konservatif yang gagal untuk meringankan gejala-gejala. Penatalaksanaan medis termasuk pemberian antibiotika penisilin yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk membersihkan kripta tonsillaris dengan alat irigasi gigi (oral). Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronis atau berulang-ulang.
Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pembedahan yang diusulkan oleh Celsus dalam buku De Medicina (tahun 10 Masehi). Jenis tindakan ini juga merupakan tindakan pembedahan yang pertama kali didokumentasikan secara ilmiah oleh Lague dari Rheims (1757).
Indikasi untuk dilakukan Tonsilektomi terbagi tiga, antara lain :
a.   Aspek pembesaran tonsil
\     Tonsilitis kronis atau tonsil hipertrofi yang menimbulkan gangguan bernafas.
\     Tonsilitis kronis atau tonsil hipertrofi yang menimbulkan gangguan suara.
\     Tonsilitis kronis atau tonsil hipertrofi yang menimbulkan gangguan menelan.
b.   Aspek tonsil sebagai fokal infeksi
\     Tonsilitis kronis dengan eksaserbasi akut > 3 kali setahun.
\     Tonsilitis kronis dengan sakit menelan > 4 sampai 6 kali setahun.
\     Tonsilitis kronis dengan komplikasi dekat atau jauh.
\     Tonsilitis kronis dengan karier difteri.
\     Tonsilitis kronis dengan swab didapat streptokokus β hemolitikus.
\     Tonsilitis kronis dengan otitis media atau tuber catar yang berulang.
\     Tonsilitis kronis dgn pembesaran kelenjar limfe leher atau limfadenitis Tuberkulosis.
\     Tonsilitis kronis dengan kasus-kasus alergi.
\     Tonsilitis kronis dengan infeksi saluran nafas atas (ISPA) yang berulang.
\     Tonsilitis kronis dengan rencana untuk pemeriksaan Patologi Anatomi (PA).
\     Tonsilitis kronis dengan pertumbuhan anak yang terganggu.
c.       Aspek tonsil dicurigai mengalami keganasan (Neoplasia)
\     Tonsil dengan ulkus yang tidak ada perbaikan menggunakan terapi konvensional.
\     Tonsil dengan pembesaran yang unilateral.
Sedangkan mengenai kontraindikasi dari tonsilektomi, yaitu :
1.      Kontraindikasi Relatif
\     Radang akut, termasuk tonsilitis
\     Palatoschizis
\     Poliomyelitis epidemica
\     Umur kurang dari tiga tahun.
2.   Kontraindikasi Absolut
\     Gangguan hemostasis, leukemia, purpura, anemia aplastik, ataupun hemofilia.
\     Penyakit sistemis yang tidak terkontrol : Diabetes Melitus, penyakit jantung, dan sebagainya.
Untuk komplikasi Tonsiloadenoidektomi termasuk juga Tonsilektomi dibedakan antara komplikasi anestesi dan komplikasi pembedahan. Komplikasi akibat anestesi termasuk terjadinya hipertermi, aritmia jantung yang dapat berakhir sebagai henti jantung. Sedangkan komplikasi dari pembedahan meliputi hal-hal berikut ini :
1.      Perdarahan saat atau setelah operasi.
2.      Suara nasal berupa :
a.       Beberapa hari setelah operasi
b.      Permanen
3.      Sinekia pilar tonsil dengan ovula.
4.      Aspirasi darah ke paru-paru.
5.      Refleks vagus.
6.      Bakterimia atau infeksi.
7.      Trauma pada gigi.
8.      Pembengkakan pada lidah.
9.      Trauma pada ovula, palatum mole dan dinding faring.
















 


BAB III
LAPORAN KASUS
I.        Identitas Penderita
Nama                     : I Ketut Agus Purnama Putra
Umur                      : 6 tahun
Jenis Kelamin         : Laki-laki
Agama                   : Hindu
Pendidikan             : -
Alamat                   : Jln. Trijata 1 no 14A Denpasar
Pemeriksaan           : 24 Agustus 2006

II.    Anamnesis

Teknik Kombinasi (Autoanamnesis dan Heteroanamnesis)
Keluhan Utama : “Batuk dan Pilek”.
      Penderita datang dalam keadaan sadar, mengeluh batuk dan pilek sejak satu minggu yang lalu. Penderita juga mengeluh bahwa tenggorokannya terasa sakit terutama bertambah berat saat Penderita melakukan gerakan menelan. Selain itu, penderita juga mengeluh panas badan (demam). Tidak terdapatnya ; gangguan suara, sesak nafas, jantung berdebar-debar, serta nyeri persendian.
Riwayat Penyakit Sebelumnya :
      Penderita pernah mengalami otomikosis pada telinga kanan setahun yang lalu dan terdapat riwayat batuk-pilek yang berulang.
Riwayat Pengobatan :
      Setiap keluhan batuk-pilek muncul, penderita sering berobat dan diberi terapi antibiotika.
Riwayat Penyakit yang Sama dalam Keluarga dan Lingkungan :
      Tidak ada anggota keluarga dan tetangga sekitar tempat tinggal yang menderita sakit yang sama seperti yang dialami pasien.
Riwayat Sosial dan Lingkungan :
Pasien memiliki sosial ekonomi yang cukup dan lingkungan cukup bersih.
Keluhan Tambahan :
Telinga   Kanan     Kiri            Hidung      Kanan  Kiri            Tenggorok
Sekret     :   -          -                 Sekret        :    +     +                Riak           : -
Tuli          :   -          -                 Tersumbat  :    +     +                Tumor        : -
Tumor     :   -          -                 Tumor        :    -      -                 Sakit          : +
Tinitus     :   -          -                 Pilek           :    +     +                Sesak         : -
Sakit       :   -          -                 Sakit          :    -      -                Gg.Suara    :-
Corpus    :   -          -                 Corpus       :    -      -                Batuk         : +
Alienum                                    Alienum
Vertigo    :              -                 Bersin         :    -      -                Corpus       : -                                                                                               Alienum

III.  Pemeriksaan Fisik

Vital Sign

Keadaan umum      : Baik

Kesadaran              : Composmentis
Tekanan Darah       : 110/70 mmHg
Nadi                       : 90/menit
Respirasi                : 18/menit
Temperatur             : 37,6°C
Berat Badan           : 17 Kg

Status General
Kepala                   : Normocephali
Muka                     : Simetris, Parese Nervus Fasialis -/­
Mata                      : Anemis -/-, Ikterus -/-, Reflek Pupil +/+ isokor
THT                       : ~ Sesuai status lokalis
Leher                     : Kaku Kuduk (-)
Pembesaran kelenjar limfe -/-
Pembesaran kelenjar parotis -/-
Kelenjar Tiroid (-)
Thorak                   : Cor    : S1S2 tunggal, reguler, murmur -
Po      : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen               : Distensi (-), BU (+) N, hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas             : Edema (-), akral hangat

Status Lokalis THT

Telinga :                           Kanan              Kiri
Daun telinga                           N                    N
Liang telinga                       lapang              lapang
Discharge                               -                      -
Membran Timpani    intak               intak
Tumor                                   -                      -
Mastoid                                 N                   N
Tes Pendengaran :
Suara Bisik                   tidak dilakukan
Weber                          tidak ada lateralisasi
Rinne                               +                     +
Schwabach                      N                    N
Tes Alat Keseimbangan      tidak dilakukan
Hidung :                            Kanan                          Kiri
Hidung luar                N                                N
Kavum nasi                        sempit                          sempit
Septum                               deviasi (-)
Sekret                                    +                                 +
Mukosa                              hiperemi              hiperemi
Tumor                                    -                                   -
Konka                                kongesti                        kongesti
Sinus                                  nyeri tekan (-)
Koana                                   N                                 N
Tenggorokan :                 
Dispneu                              : -
Sianosis                              : -
Mukosa                              : hiperemi
Dinding belakang Faring      : hiperemi
Suara                                 : tidak ada kelainan




Tonsil :                              Kanan                         Kiri

Pembesaran                           T2                             T2
Hiperemis                               +                                 +
Permukaan mukosa            tidak rata                      tidak rata
Kripte                                melebar                        melebar
Detritus                                  -                                   -
Fiksasi                                    -                                   -

IV.  Resume

Penderita seorang laki-laki, enam tahun, hindu, Bali, datang dengan keluhan batuk dan pilek sejak satu minggu yang lalu. Disertai rasa sakit terutama saat menelan, dan panas badan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan status present (vital sign) dan status general dalam batas normal, kecuali temperatur badan.
Status lokalis THT : Telinga tenang. Pada hidung didapatkan kavum nasi sempit (+/+), mukosa hiperemi dengan sekret (+/+), konka kongesti (+/+). Pada tenggorokan didapatkan adanya tonsil membesar (T2/T2), hiperemis  (+/+), permukaan mukosa tidak rata dan kripte melebar.

V.     Diagnosis Diferensial

1.      Tonsilitis Kronis
2.      Tonsilitis Difteri
3.      Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulceromembranosa)
4.      Tonsilitis Akut
5.      Rhinofaringitis Akut
6.      Rhinosinusitis Akut
7.      Rhinofaringitis Kronis
8.      Rhinosinusitis Kronis

VI.  Diagnosis

Tonsilitis Kronis exarserbasi akut dan Rhinofaringitis Akut

VII.     Usulan Pemeriksaan

Biakan swab tenggorokan

VIII.  Rencana Terapi

Medikamentosa :
\     Amoxicilin syr 3 x 11/2 cth
\     Tremenza/ Ambroxoll/ Vit. C pulv no.X
\     Paracetamol syr 3 x 11/2 cth

IX.  Prognosis

Baik

BAB IV
PEMBAHASAN
Dari kasus didapatkan penderita seorang laki-laki, berusia enam tahun, beragama Hindu, suku Bali datang dengan keluhan batuk dan pilek sejak satu minggu yang lalu. Disertai rasa sakit terutama saat menelan dan panas badan. Ada riwayat penyakit yang sama sebelumnya dan sering kumat-kumatan dengan Riwayat pengobatan medikamentosa mengkonsumsi antibiotika.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan status present (vital sign) dan status general dalam batas normal, kecuali temperatur suhu badan. Status lokalis THT ; 1) Telinga tenang 2) Pada hidung didapatkan kavum nasi sempit (+/+), mukosa hiperemi dengan sekret (+/+), konka kongesti (+/+) 3) Pada tenggorokan didapatkan adanya tonsil membesar (T2/T2), hiperemis  (+/+), permukaan mukosa tidak rata dan kripte melebar.
Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik diatas, pasien didiagnosa menderita Tonsilitis Kronis exaserbasi akut dan Rhinofaringitis Akut. Riwayat kejadian yang berulang pada anamnesis, dan ditemukannya kripte yang melebar pada pemeriksaan fisik menunjukan proses yang kronis.
Tidak adanya pseudomembran yang mudah berdarah saat diangkat, dan kelainan otot seperti miokarditis ataupun kelumpuhan otot napas, dapat menyingkirkan diagnosa tonsilitis difteri. Untuk membedakan dengan Angina Plaut Vincent dilakukan pemeriksaan higiene mulut dimana biasanya pada Angina Plaut Vincent, higiene mulut penderita buruk yang dapat berupa gigi dan gusi yang mudah berdarah, hiperemis pada mukosa mulut dan faring, mulut berbau dan pembesaran kelenjar submandibula. Pada penderita ini hal-hal tersebut tidak ditemukan sehingga diagnosa Angina Plaut Vincent dapat disingkirkan pula. Dan Rhinofaringitis akut ditegakkan sebagai diagnosa karena keluhan pilek selama satu minggu dan didapatkannya kavum nasi sempit (+/+), mukosa hiperemi dengan sekret (+/+), konka kongesti (+/+), serta tidak adanya nyeri tekan yang mengakibatkan diagnosa Rinosinusitis dapat disingkirkan. 
Terapi yang diberikan untuk penderita ini adalah berupa medikamentosa antara lain ; 1) Amoxicilin sirup (Antibiotika) 3×11/2 cth untuk mengatasi infeksi, 2) Puyer atau Pulveres yang mengandung campuran Tremenza (Pseudoefedrine) sebagai Dekongestan, Ambroxoll (Mukolitik) sebagai pengencer dahak, dan Vitamin C sebagai suplemen untuk meningkatkan daya tahan tubuh penderita 3) Paracetamol (analgetik dan antipiretik) sirup sebagai penurun panas.  Pada pasien ini diusulkan pemeriksaan swab tenggorok dan tes kepekaan kuman sehingga dapat diberikan antibiotika sesuai dengan sensitivitas kuman yang ditemukan.
Perlu juga diberikan KIE terpadu dan jelas kepada penderita dan keluarganya tentang pola hidup dan pola makan yang sehat, serta anjuran apabila keluhan sakit berulang kambuh segera memeriksakan diri ke Dokter.








No comments:

Post a Comment